Catatan Diskusi Publik “Deteriorasi Perlindungan Lingkungan Hidup Dalam Pusaran Omnibus Law RUU Cipta Kerja”

https://www.facebook.com/plugins/video.php?href=https%3A%2F%2Fweb.facebook.com%2Fwatch%2F%3Fv%3D679688799241186&width=500&show_text=true&height=519&appId

Permasalahan Paradigma, Metode dan Kelemahan Aspek Amdal dalam RUU Cipta Kerja

(I Gusti Made Agung Wardana – Dosen Hukum Lingkungan UGM)

  1. Pasca reformasi, Indonesia memasuki era post-Washington Consensus dimana pembangunan nasional dipandang tidak sekadar pertumbuhan ekonomi, melainkan juga pembangunan sosial dan ekologi. Namun paradigma dalam RUU Cipta Kerja mengembalikan makna pembangunan pada era developmentalis, yaitu hanya sebatas pembangunan ekonomi dan deregulasi, negara meminimkan perannya, membiarkan mekanisme pasar yang bekerja, dan investasi menjadi aktor utama penggerak pembangunan.
  2. Dampaknya, pembangunan dipandang sebatas target yang harus dicapai, dan kekuatan sosial yang menghambat pencapaian target dikriminalisasi dan “digebuk”. Dengan kerangka berpikir tersebut, eksklusi partisipasi masyarakat dan pemerhati lingkungan terjadi bukan hanya karena dianggap kritis, tapi karena paradigma lingkungan hidup yang bias ekonomi.
  3. Fungsi hukum mengalami pergeseran, tidak lagi dalam fungsinya melayani keadilan, tapi sejauh mana dapat memfasilitasi perdagangan bebas. Hal ini tercermin dalam indikator EODB yang digunakan oleh Pemerintah dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja, dimana peringkat Rule of Law ditentukan oleh variabel yang ramah pada sistem ekonomi pasar.
  4. Selain permasalahan paradigmatik, RUU Cipta Kerja juga bermasalah secara metodologi. Permasalahan yang menjadi latar belakang RUU Cipta Kerja adalah masalah empiris, namun Naskah Akademik RUU Cipta Kerja disusun dengan penelitian yang sifatnya yuridis normatif dengan literatur yang terbatas, sehingga argumen yang disusun pun asumtif. Jika penyakitnya adalah struktur dan kultur, mengapa diselesaikan secara normatif dengan mengganti substansi hukum?
  5. Terkait Aspek Amdal, RUU Cipta Kerja memosisikan Amdal sebagai dasar uji kelayakan lingkungan, bukan lagi keputusan lingkungan. Proses Amdal dipotong, menghilangkan proses scientific review yang sifatnya objektif, langsung masuk ke bureaucratic review yang sifatnya politis dan administratif. Pengaturan Amdal dalam RUU Cipta Kerja juga mempersempit partisipasi masyarakat dengan menambah syarat (i) terkena dampak langsung dan (ii) masukannya relevan terhadap proyek.

Kelemahan Perizinan Berbasis Risiko, Penegakan Hukum Perdata, dan Pengawasan Perizinan

(Isna Fatimah – Deputi Direktur ICEL)

  1. Terdapat gelagat pembuatan RUU Cipta Kerja bukan untuk kepentingan publik karena tidak dilakukan dengan berdasarkan bukti atau fakta yang komprehensif. Ada masalah dalam prosedurnya, dengan sulitnya akses informasi masyarakat sipil terhadap informasi pembahasan RUU Cipta Kerja. Juga ada privilege bagi pengusaha dan asosiasi bisnis untuk diterima aspirasinya. Indikasi ini semakin kuat ketika DPR memutuskan tetap membahas RUU Cipta Kerja ditengah keprihatinan Pandemi Covid-19.
  2. Penambahan dan pengubahan pasal dalam RUU Cipta Kerja justru memperburuk inkonsistensi yang hendak dipecahkan. Misalnya, diabaikannya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam RUU Cipta Kerja, menimbulkan potensi pertentangan asas dengan pembangunan berkelanjutan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), berbagai UU sektoral, bahkan UU Penanaman Modal.
  3. Lalu “perizinan usaha” berbasis risiko ternyata tidak semuanya sama dengan ‘izin’ melainkan hanya Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk usaha risiko rendah dan NIB + Sertifikat untuk risiko sedang. RUU Cipta Kerja menghitung risiko dengan rumus tingkat bahaya x probabilitas. Kegiatan usaha berdampak penting namun risikonya jarang terjadi akan tidak perlu “izin”. Variabel untuk menentukan tingkat bahaya terbatas. Padahal untuk mengetahui risiko diperlukan data empiris yang lengkap antara lain terkait kondisi lingkungan, karakteristik wilayah, kemajuan teknologi, sampai tren riwayat kepatuhan.
  4. Data dan inventarisasi lingkungan hidup sebagai prasyarat berjalannya perizinan, pelaksanaan KLHS, Daya Dukung Daya Tampung, RDTR baik di pusat maupun daerah saat ini juga masih minim, meski sudah lama dimandatkan oleh UU PPLH dan UU terkait lainnya. Padahal semua ini menjadi prasyarat kemudahan perizinan.
  5. Terkait kesiapan institusi dengan jargon “Perizinan disederhanakan, Pengawasan diperkuat”. Setelah perizinan didegradasi melalui penggolongan risiko, fokus pengawasan akan pada risiko tinggi. Dari segi kualitas pengawasan, RUU ternyata tidak memberikan obat bagi masalah implementasi, yaitu masalah 1) jumlah pengawas dan 2) kapasitas pengawas dibandingkan izin yang diterbitkan. Bagaimana kondisi ini diatasi jika nanti akan banyak usaha baru yang sangat mungkin berdampak pada lingkungan? Jika kewenangan ditarik ke pusat dengan keadaan seperti ini pusat akan kesulitan menanggung beban tersebut.
  6. Belum lagi degradasi pasal strict liability yang menghilangkan unsur “tanpa harus membuktikan kesalahan”, kewajiban pemerintah yang melibatkan partisipasi masyarakat yang didegradasi pada kewajiban “mengumumkan melalui di sistem elektronik”, dan kewenangan pemerintah daerah yang ditarik ke Pusat.
  7. Dalam membuat RUU diharapkan Pemerintah dan DPR mementingkan kepentingan publik diatas kepentingan lain, dan membuat RUU berbasis fakta, komprehensif, mengedepankan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Kejahatan Korporasi dan Pasal Pidana Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja

(Boy J.E. Sembiring – Manajer Kajian Kebijakan WALHI Eknas)

  1. RUU Cipta Kerja semakin mempertegas bahwa ekonomi yang dipercaya pemerintah Indonesia saat ini adalah ekonomi kapitalistik, investasi mengejar economic growth. Pertumbuhan ekonomi memang 5%, tapi dampak pembangunan sejak tahun 1980 juga merusak tatanan sosial dan lingkungan. Angka kemiskinan saat ini memang single digit, tapi terdapat ketimpangan sosial yang kian tinggi dan potensi “miskin lagi” dikalangan petani dan buruh industri padat karya.
  2. “Pertarungan” yang terjadi sebenarnya berkaitan dengan “sistem kepercayaan”. Terlihat dari perumusan RUU Cipta Kerja yang hanya melibatkan KADIN dan pengusaha, seharusnya melibatkan juga petani dan buruh.
  3. Masalah pengaturan pidana dalam RUU Cipta Kerja ada pada formil rumusan pidana, jenis pidana dan pemidanaan, dan ukuran dari pidana. Rumusan tindak pidana dalam RUU Cipta Kerja mempersulit hukum menjerat pelaku korporasi karena: (i) di KUHP, pidana tambahan harus didahului pidana pokok; (ii) pengaturan di RUU Cipta Kerja adalah pidana denda yang baru dapat dijatuhkan setelah ada pemberatan. Pada akhirnya yang dikorbankan nanti adalah pelaku lapangan, dan ini bertentangan dengan asas pertanggungjawaban korporasi.
  4. Sementara penegakan hukum selama ini tidak efektif membuat jera pelaku korporasi, dan hanya sebatas pada “capaian kinerja”. Terdapat juga permasalahan dalam eksekusi putusan lingkungan hidup.
  5. Pasal-pasal yang baik tetap ada, seperti Pasal 78 UU PPLH. Tetapi pada akhirnya menjadi norma kosong yang tidak operasional, karena ada pertentangan norma.

Selesai.