Dalam memperingati World Environment Day 2021 yang mengusung “Ecosystem Restoration” atau pemulihan ekosistem, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyelenggarakan Webinar “Tantangan dan Peluang Pemulihan Lingkungan Hidup Melalui Eksekusi Putusan Perkara Pidana dan Perdata”. Eksekusi putusan lingkungan hidup memiliki berbagai permasalahan dalam implementasinya.

Diskusi ini membahas permasalahan-permasalahan tersebut dan mengidentifikasi berbagai alternatif solusi untuk memperkuat sistem dan implementasi eksekusi putusan berupa pemulihan. Hadir sebagai narasumber (1) Sugeng Riyono, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta; (2) Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK; (3) Narendra Jatna, Asisten Khusus Jaksa Agung; (4) Iwan Sutiaji, Direktur Hukum dan Manajemen Risiko BPDLH. Diskusi ini dimoderasi oleh Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL.  

Diskusi dibuka oleh pemaparan Raynaldo Sembiring yang mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam eksekusi. Beberapa permasalahan yang diuraikan adalah masalah dalam pelaksanaan eksekusi/pidana tambahan berupa pemulihan oleh tergugat/terpidana; pengawasan dan penilaian eksekusi; pengelolaan dana pemulihan; koordinasi antar instansi; hingga minimnya pengaturan mengenai tata cara pemulihan.

Berdasarkan hambatan tersebut, ICEL mengidentifikasi beberapa solusi untuk mendorong pemulihan lingkungan, yaitu 1) menyusun mekanisme standar umum untuk tindakan pemulihan dari penegakan hukum dengan melibatkan kelompok ahli 2) memaksimalkan SKB penegakan hukum terpadu untuk tindak pidana kebakaran hutan dan lahan 3) memasukkan rencana pemulihan umum/penetapan kerusakan dalam gugatan/dakwaan/tuntutan 4)  memaksimalkan lembaga BPDLH dan 5) penyusunan peraturan Mahkamah Agung mengenai eksekusi perkara lingkungan hidup. 

Rasio Ridho Sani memaparkan secara reflektif perjalanan eksekusi putusan lingkungan hidup berdasarkan fungsi penegakan hukum yang dijalankan KLHK. Menurutnya, mengalokasikan uang ganti rugi dari perkara lingkungan hidup untuk pemulihan masih menjadi hambatan. Lebih lanjut, instrumen pedoman pemulihan lingkungan yang sangat terbatas dan rendahnya putusan pidana perkara lingkungan hidup turut menjadi catatan.

Verifikasi aset sita jaminan, penguatan kapasitas dari seluruh proses penegakan hukum baik pidana maupun perdata, penguatan komitmen para pihak, dan memperkuat instrumen pemaksa terkait eksekusi putusan adalah langkah yang perlu dilakukan kedepannya. “Kita perlu memperkuat upaya penegakan hukum untuk memastikan pemulihan fungsi lingkungan dapat terwujudkan karena ini merupakan tujuan utama penegakan hukum”, pungkasnya. 

Sementara, Narendra Jatna menerangkan bahwa permasalahan mendasar dalam eksekusi putusan yang berkaitan dengan dana terletak pada akuntansi pemerintahan Indonesia yang menganut single entry system. Hal ini berpengaruh pada eksekusi putusan lingkungan, yakni dana hasil penegakan hukum dianggap sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal ini tentunya tidak hanya menjadi masalah bagi pemulihan lingkungan hidup tetapi juga bagi institusi kejaksaan karena putusan yang tidak bisa dieksekusi menjadi piutang kejaksaan. Ia merekomendasikan perubahan dalam sistem akuntansi pemerintahan, agar dana untuk pemulihan lingkungan dapat digunakan langsung tidak masuk ke kas negara. 

Dalam paparannya, Sugeng Riyono menilai biaya pemulihan seharusnya dikelola secara khusus untuk kepentingan lingkungan, bukan masuk ke kas negara. Selain itu, agar rencana eksekusi putusan berupa pemulihan berjalan efektif, tahapan pelaksanaan eksekusi yang rinci (tahapan, biaya, jangka waktu, pelaksana dan pengawas pemulihan) perlu dilampirkan. Lebih lanjut, Ia menyarankan Ketua Pengadilan Negeri untuk membuat pencatatan mengenai proses pemulihan dan menunjuk instansi dalam pelaksanaan eksekusi. Penyusunan gugatan dengan posita dan petitum rinci pun krusial agar putusan dapat dieksekusi. Ia pun menekankan pentingnya mengisi kekosongan hukum mengenai eksekusi tindakan pemulihan lingkungan akibat absennya dasar pengaturan. “Kalau tidak ada pegangan bagi ketua pengadilan, nanti ranah Komisi Yudisial dan Badan Pengawas untuk menjatuhkan sanksi bagi Ketua Pengadilan”, tukasnya. 

Terakhir, Iwan Sutiaji memahami bahwa hasil dari putusan perkara lingkungan hidup dianggap sebagai PNBP sehingga terdapat proses untuk dapat digunakan kembali dalam pemulihan lingkungan hidup. Ia juga menyatakan bahwa mekanisme pengelolaan PNBP yang lebih mudah untuk kepentingan pemulihan lingkungan hidup kini sedang dibahas oleh BPDLH bersama dengan KLHK.  Ia pun menambahkan bahwa pemulihan lingkungan dengan menggunakan sumber dana non-PNBP, sepanjang dimandatkan oleh pemberi dana bahwa dana tersebut untuk keperluan pemulihan lingkungan.  (Marsya / Difa) 

Adapun materi webinar ini dapat diunduh di link berikut: http://bit.ly/MateriWebinarEksekusi-ICEL​​