Jakarta, ICEL – Pada 23 April 2021, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan webinar bertajuk “Urgensi Penerapan Anti SLAPP dalam Penanganan Perkara Lingkungan Hidup di Indonesia”. Webinar dibuka oleh Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo G. Sembiring.  Raynaldo menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang baik selalu mensyaratkan pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak bagi masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana telah dijamin oleh Prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Raynaldo juga menyatakan apresiasinya terhadap para pihak akan komitmen dan realisasinya dalam menciptakan dan memperjuangkan legislasi yang pro Anti SLAPP, baik melalui pengejawantahan Pasal 66 UU PPLH oleh KLHK dan DPR, penerbitan SK KMA No. 36 tahun 2013 tentang penanganan perkara lingkungan hidup oleh Mahkamah Agung, maupun wacana penerbitan peraturan Menteri terkait Anti SLAPP oleh KLHK. Serta pada institusi Kejaksaan Agung yang beberapa kali terlibat dalam diskusi mengenai perumusan regulasi AntiSLAPP, kepada masyarakat di tingkat tapak, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi yang bahu membahu mendorong penerapan anti-SLAPP terutama dalam praktik di persidangan. 

Sementara itu, Ketua Pembinaan Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H, LL.M sebagai keynote speaker pertama, menyatakan bahwa dalam konteks hukum lingkungan, SLAPP dapat mencederai dan bahkan dapat mematikan keberanian warga/orang/aktivis lingkungan hidup. “Jika SLAPP adalah upaya untuk mematikan peran serta melalui jalur hukum, maka anti-SLAPP adalah upaya hukum membela diri atau pemberian jaminan perlindungan hukum bagi warga yang hendak berperan serta.” Sumber hukum Anti SLAPP di Indonesia pada dasarnya telah cukup baik dan kuat. telah UUD NRI 1945, UU Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Informasi Publik telah mengakui dan menjamin hak masyarakat untuk dapat berperan serta dan mengakses informasi. 

Direktur Jendral Gakkum KLHK Dr. Rasio Ridho Sani, M. Com, MPM selaku keynote speaker kedua berpendapat, perlu adanya penguatan ekosistem penegakan hukum dan inovasi yang sistemik terhadap pengembangan kebijakan SLAPP. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan pengembangan kebijakan instrumen yang ada, penguatan kapasitas aparat penegak hukum, serta pengembangan sistem tata kelola dan kelembagaan. Untuk itu maka sosialisasi dan edukasi publik, Kerja sama dan koordinasi antar lembaga dan pihak terkait, serta penyusunan dasar hukum perlindungan SLAPP perlu terus dilakukan.  

Karakteristik dan tipologi kasus yang dikategorikan sebagai SLAPP 

“…pada tahun 1980, saya mendengar teman saya Penelope Canan dan Universitasnya digugat oleh pemerintah. Hal ini berangkat dari Tindakan Penelope dan universitasnya yang melakukan kritik kepada pemerintah terkait program penelitian yang dilakukannya. Saya menyadari bahwa Penelope telah mendapatkan intimidasi dan tak hanya Penelope, fenomena gugatan atas dasar intimidatif ini juga masif terjadi di era tersebut…”. 

Berdasarkan observasi tersebut, maka pada tahun 1996, Prof. George (Rock) Pring, Emeritus Professor di University of Denver Sturm College of Law, bersama Penelope Canan yang berlatar belakang Sosiologi, menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Slapps: Getting Sued For Speaking Out” yang memperkenalkan pertama kali konsep Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) yang kemudian menarik perhatian internasional. 

Pada awal dicetuskan, definisi dan ruang lingkup SLAPP cukup sempit yaitu hanya sebatas pada bentuk lawsuit against petitioning against government action. Pada perkembangannya SLAPP kemudian berkembang luas, sehingga manakala terdapat perbuatan yang berusaha untuk menekan atau menyerang partisipasi publik, serta menekan kepercayaan publik  kepada pemerintah, menjadi dapat masuk dalam kategori SLAPP.

Targetnya pun tidak hanya terbatas pada lingkup aktivis saja, namun juga pada spektrum yang sangat amat luas, yakni melingkupi masyarakat dengan pandangan politik yang berbeda dan menyuarakan pandangannya tersebut.  Pada intinya, kasus SLAPP merupakan kasus yang terus berjalan dan berkembang. Corak umum yang muncul adalah adanya upaya untuk menghukum oposisi atau mencegah adanya oposisi potensial kedepannya dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi pihak yang melakukan SLAPP. 

Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M, pendiri ICEL, CEO IOJI, serta pengajar senior hukum lingkungan, pada waktu dan tempat yang sama juga menekankan urgensi diterbitkannya UU Partisipasi Publik dan Anti SLAPP saat ini. Beliau juga menggarisbawahi signifikansi peran hakim dalam penanganan kasus Anti-SLAPP. “Peningkatan kapasitas hakim diperlukan agar mampu berperan aktif dalam penanganan kasus SLAPP dengan membangun paradigma anti-SLAPP. Selain itu, judicial activism juga diperlukan, mengingat dalam penanganan kasus AntiSLAPP  tidak hanya  teknis hukum yang diperlukan, melainkan juga pemahaman yang lebih luas dan dalam mencangkup aspek politik, sosial, ekonomi, keadilan atau justice, dan konteks perkembangan nilai konstitusi. 

Hadir pula Nani Indrawati, S.H., M.Hum selaku Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palangkaraya dan Narendra Jatna, S.H., LL.M. selaku Asisten Khusus Jaksa Agung Republik Indonesia. Ibu Nani Indrawati menjabarkan sejumlah hambatan dalam penanganan perkara SLAPP di pengadilan, meliputi: tidak adanya definisi SLAPP dan Anti SLAPP yang berlaku saat ini, tidak adanya definisi obyek SLAPP atau pejuang lingkungan, belum adanya karakteristik atau ciri-ciri khas gugatan SLAPP yang berlaku umum, belum adanya ketentuan yang dapat menggugurkan perkara SLAPP semacam motion to strike, dan judicial activism yang hanya dapat digunakan untuk ranah materil dan bukan formil. Selain itu diperlukan pengaturan setingkat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) untuk mengisi kekosongan hukum guna mengatur terkait Anti SLAPP. 

Selanjutnya Bapak Narendra Jatna selaku penanggap kedua menambahkan bahwa diperlukan pencantuman unsur “itikad baik” dalam pengaturan SLAPP untuk dapat mengidentifikasi laporan yang merupakan Anti SLAPP. Lebih dari itu, diperlukan pembaharuan system hukum acara pidana dan perdata, bersamaan dengan sinergi yang perlu dibentuk antara penyidik, jaksa, hakim dan advokat untuk melakukan reformasi peradilan pidana dan perdata untuk dapat mewujudkan perlindungan terhadap partisipasi masyarakat yang lebih holistik. 

Silahkan saksikan kembali webinar Urgensi Penerapan Anti SLAPP dalam Penanganan Perkara Lingkungan Hidup di Indonesia disini 

Unduh materi narasumber disini