Jakarta | “Pemerintah telah menyusun Rancangan Omnibus Law CLK. Sayangnya, proses pembuatan omnibus law tersebut sangat tertutup, bahkan naskahnya tidak dapat diakses oleh masyarakat. Pemerintah dalam keterangan resminya menyatakan baru akan memperhatikan masukan dan pertimbangan masyarakat ketika rancangan omnibus law disampaikan kepada DPR,” ujar Deputi Direktur Program ICEL Raynaldo Sembiring dalam memaparkan kertas kebijakannya yang berjudul “Catatan Terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (CLK).” Jakarta, Selasa (28/01/2020).
“Kertas kebijakan ini dimaksudkan untuk merespon dan memberi masukan kepada para pengambil keputusan yang terlibat dalam penyusunan Omnibus Law CLK. Namun, mengingat ketiadaan naskah akademik dan rancangan Omnibus Law CLK resmi yang dapat diperoleh, basis informasi yang menjadi acuan dalam penyusunan kertas kebijakan ini adalah pernyataan pejabat pemerintah di media, pemaparan pejabat kementerian dan lembaga dalam seminar/workshop tentang Omnibus Law, serta tren kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Jokowi sejak periode pertama hingga 15 Januari 2020.” Ujar Raynaldo.
Ada lima masukan yang dipaparakan oleh Raynaldo terkait wacana Omnibus Law cipta lapangan kerja ini yakni,
- Menyusun Omnibus Law secara transparan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (termasuk masyarakat yang terdampak dan/atau berkepentingan) dalam proses penyusunan, baik di tingkat pemerintah maupun di DPR, serta terbuka dengan segala pendapat yang disampaikan.
- Mengkaji kembali pilihan-pilihan pendekatan berbasis risiko dan memastikan bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pembuatan kebijakan.
- Mempertahankan izin lingkungan dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Izin lingkungan merupakan instrumen yang strategis untuk melakukan pengawasan penaatan pelaku usaha terhadap peraturan dan standar kualitas lingkungan hidup.
- Keberadaan izin lingkungan lebih menjamin akses bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam keputusan lingkungan hidup dan mendapatkan keadilan ketika haknya terlanggar.
- Memastikan adanya instrumen yang dapat mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan serta kerugian bagi masyarakat akibat pencemaran dan kerusakanlingkungan hidup.
- Pemilihan instrumen yang tepat dalam pengelolaan lingkungan hidup perlu dibangun melalui tahapan proses pembuatan kebijakan yaitu penemuan problem lingkungan hidup, penentuan berbagai alternatif penyelesaian masalahnya, pengkajian dari berbagai alternatif tersebut, berbagai pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi.
4. Mempertahankan ancaman sanksi pidana bagi pelanggaran administrasi (termasuk pelanggaran izin)
5. Tetap mempertahankan, bahkan memperkuat, aturan terkait pelibatan masyarakat agar sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Didalam waktu yang sama acara diskusi dan talkshow “Tata Kelola Lingkungan Hidup pada Poros Percepatan Investasi” juga diselenggarakan setelah kertas kebijakan dibacakan. Hadir dalam diskusi tersebut adalah Dida Gardera, Asisten Deputi bidang Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Halim Kalla, Wakil Ketua bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Kamar Dagang dan Industri, Ahmad Alamsyah Saragih, anggota Ombudsman RI, Mas Achmad Santosa, pendiri ICEL, Laode M. Syarif, Ketua Dewan Pembina ICEL, dan Dzulfian Syafrian, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Diskusi dimoderasi oleh Prita Laura.
Diskusi ini membahas mengenai aspek lingkungan hidup dalam kerangka hukum untuk memperbaiki iklim investasi melalui Omnibus LawCLK.
Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera mengatakan, Omnibus Law cipta lapangan kerja tidak akan mengesampingkan keberlangsungan lingkungan hidup. Menurut Dida Gardera, Omnius LawCLK tidak akan mendikotomikan antara kepentingan lingkungan hidup dengan investasi. Beliau menapis rumor bahwa Amdal hendak dihapus.
“Kita hendak mengembalikan fungsi Amdal ke khitahnya, yaitu menjadi syarat untuk mendapatkan izin usaha, bukan izin lingkungan. Satu-satunya Amdal yang dibungkus dalam izin hanya di Indonesia. Di Indonesia saat ini birokrasinya bermasalah,” jelasnya. Ia menegaskan bahwa aspek yang hendak diperbaiki di Omnibus Lawadalah masalah birokrasi dan proses penerbitan izinnya, bukan menoleransi standar lingkungan hidup serta peran masyarakat.
Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih menilai bahwa praktik tata kelola perizinan saat ini sangat menghawatirkan, sebab dengan mengubah mekanisme izin, masalah sesungguhnya tidak akan teratasi. Alamsyah juga mengingatkan bahwa pemerintah perlu menghentikan kebiasaan untuk tidak melibatkan publik dalam membuat kebijakan karena akan memicu konflik yang lebih besar.
“UU 12/2011 mengamanatkan agar pelibatan publik harus sudah dilakukan sebelum RUU diserahkan kepada DPR,” ujar Alamsyah kembali.
Sementara itu, Pendiri ICEL Mas Achmad Santosa menggarisbawahi bahwa kualitas demokrasi dan kualitas lingkungan hidup tidak bisa ditoleransi. Gagasan konstitusi menegaskan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Menurut Achmad pemerintah perlu untuk tidak ragu-ragu bahwa kita harus menyeimbangkan kepentingan investasi dengan perlindungan lingkungan hidup. Menurutnya, instrumen yang dibangun dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menegaskan instrumen-instrumen apa saja yang dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
“Di negara-negara lain instrumen lingkungan hidup tidak ‘dikecilkan’,” kata Achmad Santosa. (Dona)