Jakarta | Senin, 30 Agustus 2021, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) melaksanakan Webinar “Penguatan Mekanisme Anti-SLAPP Dalam Sistem Hukum Indonesia”. Penyelenggaraan Webinar ini dilatarbelakangi oleh maraknya kasus kriminalisasi terhadap pejuang HAM atas lingkungan dan belum banyaknya putusan yang menerapkan Anti-SLAPP secara efektif sebagaimana tertanam dalam Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sejak diberlakukan, ICEL menemukan hanya terdapat 3 putusan yang telah menerapkan Pasal 66 tersebut dengan baik. Atas hal tersebut, Webinar ini diselenggarakan ICEL bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Lingkungan (APHLI) untuk mengarusutamakan mekanisme Anti-SLAPP dan perlindungan HAM atas lingkungan beserta urgensinya.
Webinar dibuka oleh Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring yang menekankan bahwa persoalan Anti-SLAPP tidak hanya menyangkut pejuang hak atas lingkungan saja, melainkan perlindungan bagi demokrasi yang menyangkut semua masyarakat Indonesia. Fenomena SLAPP disadari sangat mengkhawatirkan. Di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, SLAPP marak terjadi dalam konteks pidana dengan menggunakan mekanisme upaya paksa atau penetapan yang tidak layak untuk membungkam partisipasi publik. Dalam mengatasinya, respons hukum pidana harus dipikirkan secara cermat, di antaranya dengan memanfaatkan mekanisme dalam KUHAP untuk menghentikan perkara sedini mungkin serta menilik Anti-SLAPP sebagai dasar penghapus pidana. Untuk itu, yang paling penting adalah bagaimana Anti-SLAPP ini diperjuangkan oleh pemerintah. “Kami berharap pemerintah melalui berbagai institusi termasuk institusi di bidang Lingkungan Hidup bisa melanjutkan pembahasan untuk segera disahkan, agar Permen atau aturan Anti-SLAPP dapat menjadi fondasi baru perlindungan partisipasi publik dan perlindungan demokrasi di Indonesia”, sebagaimana diutarakan oleh Raynaldo.
Webinar ini menghadirkan empat orang narasumber yakni, Direktur Kemitraan, Laode M. Syarief, Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D., Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardhana, S.H., LL.M., Ph.D. dan Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Sebelas Maret, Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum,.
Laode M. Syarief dalam paparannya menjelaskan mengenai perjalanan pengakuan hak atas lingkungan dan hak akses atas informasi lingkungan dalam perspektif hukum lingkungan internasional. “Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sudah ada sejak tahun 1972 melalui Declaration on the Human Environment dan terus mengalami perkembangan setiap 10 tahun. Perkembangan ini dimulai dari yang berpusat pada manusia (antroposentris) dan berperspektif laki-laki kemudian berkembang mengakui peran perempuan, menempatkan kewajiban dan tanggung jawab (obligation and responsibility) pada setiap orang, dan mengatur keterlibatan masyarakat hukum adat. Seiring dengan hal tersebut, dunia internasional juga memberikan pengakuan terhadap hak atas informasi dan partisipasi dalam mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Melalui Resolusi PBB, PBB telah mendefinisikan pejuang hak atas lingkungan (environmental human rights defenders) dan mengecam segala bentuk serangan, penyiksaan, dan intimidasi terhadapnya”.
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Mengutip pernyataan United Nation Special Rapporteur, John Knox, Prof. Andri menyatakan bahwa, “Di satu sisi, perlindungan lingkungan hidup merupakan salah satu alat untuk terwujudnya perlindungan HAM. Sebaliknya, perlindungan HAM juga menjadi syarat bagi terwujudnya perlindungan lingkungan.” Maka, kerusakan lingkungan akan lebih buruk jika terjadi di negara yang penghormatan HAM-nya buruk. Di Indonesia sendiri, perlindungan terhadap pejuang hak atas lingkungan hidup dalam prinsip hukum internasional tersebut telah diturunkan dalam kerangka hukum nasional, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahkan secara eksplisit diatur dalam Pasal 65 dan 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (uu 32/2009).
“Sayangnya, dalam praktiknya, perlindungan itu banyak dilanggar. Perlindungan yang ada di konteks internasional dan hukum nasional menjadi lumpuh di praktiknya”. Ujar Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, Prof. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.
Dampaknya, pembela lingkungan di Indonesia kerap mengalami berbagai intimidasi, dalam hal ini intimidasi hukum. Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardhana, S.H., LL.M., Ph.D. yang tengah melakukan penelitian terkait SLAPP berbasis putusan di Indonesia memberi gambaran bahwa dari 55 putusan yang diteliti, 5 % menggunakan prosedur perdata dan 95% menggunakan prosedur pidana dengan peranan negara yang lebih dominan. Adapun kasus SLAPP paling banyak terjadi di pulau Jawa dan 40% kasus SLAPP terjadi di sektor kehutanan dan perkebunan. Sementara, kasus perdata semuanya menggunakan jeratan Pasal 1365 KUHPerdata, pada kasus pidana kejahatan yang paling sering dituduhkan adalah kejahatan terhadap ketertiban umum. Ini menjadi masalah karena kerap kali perlawanan pembela lingkungan terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan dilakukan dengan cara ekstra-legal yang tidak dianggap sebagai partisipasi yang tidak dilindungi Pasal 66 UU 32/2009. Akibatnya, 70% kasus intimidasi hukum dari sudut pidana diputus bersalah.
Mengamati fenomena tersebut, Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Sebelas Maret, Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, menggarisbawahi bahwa walau konstitusi dan peraturan perundang-undangan kita telah mengatur hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM, dari sisi substansi penegakan hukum kita sangat positifistik. Padahal, “Hakim diberikan kewenangan, kesempatan, atau keleluasaan melakukan penafsiran yang bersifat ekstensif, yang penting tidak bernuansakan analogi. Dari beberapa peraturan perundang-undangan (Red: tentang Kekuasaan Kehakiman), pasal 10 dan pasal 50 telah memberikan kesempatan bagi penegak hukum agar tidak terbelenggu dengan aturan yang tertulis. Karena pengaturan yang bersifat SLAPP masih sangat sumir dan hanya di satu pasal saja, di Pasal 66 tersebut. “Fokus dalam SLAPP pada akhirnya bergeser dari kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang menjadi fokusnya.” “Jadi salah satu faktornya adalah penegak hukumnya yang kurang memahami bagaimana hukum lingkungan itu seharusnya diterapkan”.
Dari hasil pemaparan para narasumber, dapat diambil kesimpulan tentang langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memperkuat mekanisme Anti-SLAPP dalam sistem hukum Indonesia. Pertama, memperkuat ruang lingkup hak atas berpartisipasi dan memperjuangkan keadilan, agar tidak ditafsirkan aparat penegak hukum secara sempit.
Kedua, menyusun peraturan/pedoman pelaksanaan jaminan perlindungan pejuang hak atas lingkungan di Indonesia agar SLAPP teridentifikasi dan tertangani sedini mungkin. SLAPP diharapkan dapat selesai sebelum memasuki persidangan, misalnya melalui hakim pemeriksa pendahuluan (hakim komisaris). Ketiga, memperkuat pemahaman aparat penegak hukum untuk melihat sebab akibat antara permasalahan lingkungan yang menjadi perkara pokoknya dengan SLAPP yang menjadi perkara ikutan.
Terakhir, mengatur mekanisme SLAPPBack untuk memberi efek jera bagi korporasi atau aparat negara yang melakukan SLAPP, bisa melalui disinsentif finansial termasuk biaya yang digunakan bagi korban SLAPP melakukan pembelaan.
Webinar ini dapat disimak kembali melalui tautan berikut ini
Adapun materi paparan para narasumber dapat diakses melalui