Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia berkolaborasi dengan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Indonesia dan Sekretariat Open Government Indonesia (OGI) menyelenggarakan  Webinar bertema “Keterbukaan Dokumen Perizinan dan Kontrak Sumber Daya Alam melalui Inisiatif Open Government Parnership (OGP)”. Webinar yang dilaksanakan secara daring pada Rabu, 10 Mei 2023 ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan menyambut Open Government Week 2023.

Hadir sebagai pembicara pada webinar ini diantaranya Grita Anindarini, Direktur Program ICEL; Vivien Suerte-Cortez, Consultant of Thematic Policy Areas, OGP Global; dan Agus Cahyono Adi, Kepala Pusdatin ESDM sekaligus Ketua Sekretariat Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif (EITI) Indonesia. Juga dimoderatori oleh Wicitra Diwasasri, Peneliti PWYP Indonesia.

Grita Anindarini, menyampaikan topik peluang dan tantangan keterbukaan perizinan dan kontrak sektor sumber daya alam di Indonesia, ditinjau dari telaah sejumlah putusan sengketa informasi. Dari putusan sengketa informasi terkait kontrak dan perizinan sumber daya alam tahun 2017 hingga 2022 yang dikumpulkan oleh ICEL, sebanyak 22 putusan menyatakan bahwa kontrak/perizinan terkait sumber daya alam yang menjadi objek sengketa merupakan informasi dibuka seutuhnya, 11 putusan menyatakan objek sengketa sebagai informasi dibuka sebagian, dan 7 putusan dengan amar ditolak. Dengan demikian, sebagian besar putusan sepaham bahwa dokumen kontrak/perizinan terkait sumber daya alam merupakan informasi yang terbuka.

“Perlu menjadi perhatian bahwa dalam hal terdapat pengecualian, yang dikecualikan adalah bukan dokumennya melainkan informasi tertentu dalam dokumen Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Patut digarisbawahi bahwa KK dan PKP2B berbeda dari perjanjian biasa, karena merupakan perjanjian yang tunduk kepada hukum publik dan berdimensi hukum publik.” sebut  Grita yang menjelaskan paparannya berdasarkan Undang-Undang Nomor  14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Peraturan Komisi Informasi (PERKI) Nomor 1 tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik.

Grita juga menyebut sejumlah tantangan keterbukaan kontrak sektor industri ekstraktif di Indonesia yang kerap diangkat dalam argumentasi badan publik, sebagaimana tampak dari hasil riset putusan sengketa informasi ICEL. Beberapa diantaranya adalah badan publik tidak mempublikasikan daftar informasi yang dikecualikan dan melakukan uji konsekuensi; argumen terkait dampak keterbukaan kontrak terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), dan persaingan usaha; argumen terkait dampak keterbukaan kontrak terhadap pengungkapan kekayaan alam Indonesia; dan potensi litigasi karena pelanggaran klausul kerahasiaan di dalam kontrak industri ekstraktif. “Yang menarik, di berbagai putusan yang menolak pertimbangannya lebih pada aspek prosedural, bukan atas dasar ketidakterbukaan dokumen.” pungkas Grita.

Memberikan perspektif dari berbagai negara, Vivien Suerte-Cortez menjelaskan praktik baik dan capaian keterbukaan izin dan kontrak sumber daya alam – lingkungan hidup (SDA-LH) di Nigeria, Sierra Leone, dan Tunisia. Vivien juga memberi contoh bagaimana ko-kreasi melalui inisiatif OGP antara masyarakat sipil dan pemerintah dari negara-negara yang dipaparkan dapat mendorong keterbukaan kontrak, beneficial ownership, hingga melahirkan portal data yang dapat diakses masyarakat sipil. Sebagai langkah penguatan, Vivien menyampaikan rekomendasi untuk memperkuat pengimplementasian standar Extractive Industries Transparency Initiatives (EITI) termasuk membuat daftar yang menampilkan pendaftaran, proses perizinan, serta informasi kontrak perizinan sektor industri sumber daya alam sesuai hukum yang berlaku, serta memperkuat kerja sama dengan warga negara khususnya komunitas yang terkena dampak.

Selanjutnya, Agus Cahyono Adi menyampaikan capaian keterbukaan izin kontrak sektor industri ekstraktif di Indonesia terhadap pemenuhan standar EITI. Agus Cahyono Adi menyatakan bahwa sesuai standar EITI, izin dan kontrak industri ekstraktif harus dibuka per 1 Januari 2021. Meski demikian, diungkapkan bahwa dalam pelaksanaannya, masih terdapat ketidaksamaan pandangan. Untuk itu telah terdapat upaya yang dilakukan Pemerintah dalam keterbukaan informasi publik sektor industri ekstraktif. Di antaranya mulai melakukan pengujian konsekuensi untuk menentukan apakah sebuah informasi dapat dibuka atau tidak kepada publik. “Kita mengungkapkan apa saja yang diatur dalam kontrak, yaitu kriteria umum serta poin transparansi dalam kegiatan usaha ekstraktif. Meski terkendala untuk memberi kontrak secara lengkap, namun isi-isinya bisa, jangka waktu, proses seleksi dan lelang, serta penilaiannya”.

Untuk itu, keterbukaan data kontrak dan izin dapat diakses melalui ESDM Geoportal, Minerba Satu Data (MODI), dan Minerba Satu Peta Indonesia (MOMI). Portal tersebut memuat data tabular perusahaan dan visual spasial seluruh sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Indonesia.

Adapun turut hadir sebagai peserta Webinar berbagai perwakilan dari instansi pemerintahan pusat dan daerah, aparatur penegak hukum, civitas akademika universitas, serta organisasi masyarakat sipil tingkat nasional dan daerah. Webinar ini kian menegaskan bahwa sebagai negara pemrakarsa dan pelaksana inisiatif Open Government Partnership serta anggota EITI, Indonesia diharapkan dapat turut aktif mendorong keterbukaan informasi kontrak dan perizinan dalam berbagai kanal informasi yang dapat diakses oleh publik. Dengan demikian ko-kreasi, transparansi, dan akuntabilitas yang terlaksana diharapkan dapat memperkuat pengawasan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat.

Segala materi terkait Webinar dapat diakses melalui https://bit.ly/Materi-Webinar-OGP-Week-10-Mei.

Penulis: PWYP dan ICEL