Jakarta | Prof. Richard L. Revesz, Profesor Hukum pada New York University menyatakan bahwa pencemaran udara lintas batas tidak hanya menjadi fenomena di Jakarta tetapi hal serupa juga terjadi di bagian timur Amerika Serikat.
Banyak negara bagian di bagian timur Amerika Serikat yang tidak mampu memenuhi baku mutu udara ambien akibat pencemaran udara yang berpindah dari negara tetangganya.
Walau fenomena ini nyata terjadi, pemerintah Indonesia terlihat gamang dalam merespons pencemaran udara lintas batas, berbeda dengan Amerika Serikat yang sejak 1977 telah mengeluarkan aturan Good Neighbor Provision untuk menjawab persoalan ini.
Atas dasar itu Indonesian Center for Environmental Law mengadakan kuliah umum virtual yang bertajuk “Good Neighbor Provision: Menilik Ketentuan Pencemaran Udara Lintas Batas di Amerika Serikat”, Jumat (9/7/2021).
Dalam kuliah umum tersebut, Prof. Revesz menyatakan bahwa Good Neighbor Provision mengatur bahwa sumber pencemar udara di suatu negara bagian tidak diperbolehkan berkontribusi secara signifikan pada pencemaran udara di negara bagian lain.
Menurut Prof. Revesz terdapat tiga cara bagi negara bagian terdampak emisi dari negara bagian tetangga untuk memastikan ketaatan negara bagian tetangga pada Good Neighbor Provision.
Pertama, ketika negara bagian lain mengubah isi State Implementation Plan (SIP), negara bagian terdampak dapat menyampaikan keberatan pada Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (Environment Protection Agency, “EPA”) yang isinya menyatakan perubahan SIP melanggar Good Neighbour Provision karena perubahan SIP membuat terlalu banyak emisi akan terbawa ke negara bagian terdampak.
Kedua, negara bagian terdampak dapat mengirimkan petisi pada EPA yang menyatakan keberatan terhadap sumber pencemar tertentu di negara bagian menyebabkan pencemaran udara yang eksesif. EPA akan menilai petisi ini.
Ketiga, EPA dapat melakukan “SIP call”. Dalam mekanisme ini, EPA memutuskan bahwa SIP dari negara bagian tertentu tidak cukup memadai karena SIP tersebut memperbolehkan pencemaran udara yang eksesif terbawa sampai ke negara bagian lain.
Walau telah diberlakukan sejak 1977, implementasi Good Neighbor Provision menghadapi banyak tantangan, misalnya perdebatan mengenai tingkat kontribusi suatu sumber pencemar terhadap ketidakmampuan negara bagian lain untuk memenuhi baku mutu udara ambien.
Di samping itu, operasi PLTU juga mempersulit upaya negara bagian untuk mematuhi baku mutu udara ambien.
Hal ini menurut Prof. Revesz disebabkan oleh PLTU-PLTU yang telah beroperasi diwajibkan untuk mematuhi baku mutu emisi yang lebih longgar dibandingkan PLTU yang baru beroperasi, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasikan PLTU lebih murah dibandingkan dengan membangun PLTU baru.
Permasalahannya PLTU yang telah beroperasi menghasilkan emisi yang jauh lebih besar dibandingkan PLTU baru. Kondisi ini memperburuk kualitas udara ambien.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, melainkan juga terjadi di Indonesia. PLTU yang sudah beroperasi di Indonesia berdasarkan Permen LHK 15/2019 tunduk pada aturan baku mutu emisi yang lebih longgar dibandingkan dengan PLTU yang baru akan dibangun.
Studi Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukkan bahwa emisi PLTU yang berada di wilayah Banten dan Jawa Barat terbawa hingga Jakarta, sehingga mencemari udara Jakarta.
Menurut Prof. Revesz salah satu cara untuk menutup PLTU yang telah beroperasi adalah melalui Good Neighbor Provision.
Indonesia sebenarnya memiliki instrumen yang mirip dengan SIP yang diatur dalam PP 22/2021 yaitu Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara (RPPMU).
Berkaca dari implementasi SIP di Amerika Serikat maka pemerintah dapat menyusun RPPMU dengan mempertimbangkan pencemaran udara lintas batas dan mengupayakan pengurangan emisi yang signifikan dari sumber pencemar seperti PLTU. (bella)