Pada Selasa, 12 Mei 2020 lalu, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan Webinar yang bertajuk “Strengthening the Role of Environmental Safeguards in Achieving Sustainable Development: A Response to Investment Acceleration Plan in Indonesia.” Webinar ini dilatarbelakangi oleh adanya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) yang bersifat omnibus yang merupakan inisiatif Pemerintah Indonesia. RUU ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui penyederhanaan regulasi dan perizinan. Webinar yang merupakan seri pertama ini diadakan guna memberikan perspektif dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia dan Singapura atas upaya mereka menyusun kebijakan dan regulasi yang mengintegrasikan perlindungan lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi maupun percepatan investasi.

Webinar ini dimoderatori oleh Josi Katharina, peneliti senior ICEL, yang membuka diskusi dengan menjelaskan proses penyusunan dan pembahasan RUU Cipta Kerja. Ia menyayangkan bahwa prosesnya cenderung tertutup sejak disusun oleh pemerintah sampai pembahasannya di DPR, terlebih dalam situasi pandemi COVID-19. Kritik ini disambut oleh Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL yang memaparkan adanya pelemahan instrumen perlindungan lingkungan hidup dalam RUU Cipta Kerja. Setidaknya ada lima aspek tata kelola lingkungan hidup yang dilemahkan dalam RUU Cipta Kerja, yaitu: akses partisipasi publik, AMDAL, izin lingkungan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pertama, Akses partisipasi publik dalam RUU Cipta Kerja dibatasi hanya dalam penyusunan AMDAL dan partisipannya adalah masyarakat terdampak langsung saja, hal ini berbeda dengan Undang-Undang 32/2009 yang membuka partisipasi seluas-luasnya. Kedua, ada penyederhanaan kriteria kegiatan usaha wajib AMDAL menjadi lebih umum dan komisi penilai AMDAL tidak lagi melibatkan masyarakat tetapi pihak swasta/pemerintah/ahli yang bersertifikat. Ketiga, terminologi izin lingkungan dihapus, hal ini berpotensi menghalangi akses keadilan bagi masyarakat untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan berkaitan dengan lingkungan hidup. Keempat, pengawasan berpotensi terhambat karena adanya sentralisasi. Kelima, penegakan hukum perdata dan pidana dilemahkan dengan kaburnya definisi strict liability dan penerapan sanksi administrasi terlebih dahulu bagi tindak pidana. Raynaldo menyimpulkan bahwa pelemahan instrumen perlindungan lingkungan hidup di dalam RUU Cipta Kerja terjadi secara sistematis mulai dari hulu (perizinan) hingga ke hilir (penegakan hukum).

Selanjutnya, Steve Wolfson, Senior Attorney, Office of General Counsel U.S Environmental Protection Agency, menjelaskan bahwa adanya hukum lingkungan yang kuat, nyatanya penting untuk melindungi kesehatan masyarakat. Ia juga menjelaskan bahwa kekuatan keterbukaan informasi lingkungan hidup dan hukum yang kuat (mekanisme kepatuhan dan penegakan hukum) merupakan prasyarat tata kelola lingkungan yang efektif. Ia juga memberikan perspektif terkait hukum lingkungan di China yang menguat dengan membuka emisi polutan, pengelolaan polusi udara, perubahan kebijakan, dan peran NGO meningkatkan hukum lingkungan di China. Terakhir, ia menekankan bahwa perlindungan lingkungan justru akan mempromosikan pertumbuhan ekonomi karena melindungi kesehatan masyarakat.

Sementara, Ben Boer, Distinguished Professor, Research Institute of Environmental Law, Wuhan University, and Emeritus Professor, University of Sydney, menjelaskan prinsip-prinsip hukum lingkungan yang merefleksikan pembangunan berkelanjutan dalam hukum lingkungan di Australia. Tak lupa ia menjelaskan prinsip-prinsip hukum lingkungan umum seperti prinsip non-regresi (principle of non-regression) dan prinsip progresif (principle of progression), yang berarti negara tidak boleh mengatur mundur (lebih buruk dari apa yang sudah ada), melainkan harus mengatur maju (lebih baik dari apa yang sudah ada). Lebih lanjut, ia memberi contoh bahwa ada pengaturan yang komprehensif dan terintegrasi antara perencanaan, AMDAL, lahan, dan lingkungan di New South Wales yang juga menerapkan perizinan berbasis risiko. Ia berpendapat bahwa RUU Cipta Kerja berbahaya karena mengatur berbagai hal yang tidak terkait, tidak sejalan dengan reformasi peraturan, dan tidak bijaksana dengan meminggirkan instrumen perlindungan lingkungan hidup.

Sedangkan, Joseph Chun, Adjunct Associate Professor Faculty of Law, National University of Singapore, menjelaskan bahwa instrumen lingkungan hidup di Singapura berbeda dengan di Indonesia. Instrumen lingkungan hidup di Singapura dapat terintegrasi karena wilayahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Singapura tidak memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan AMDAL, namun administrasi dan perusahaannya sangat patuh terhadap aturan. Namun demikian, ia menyadari bahwa KLHS dan AMDAL serta partisipasi publik sangat penting dalam mewujudkan tata kelola lingkungan hidup yang baik.

Setelah semua narasumber dari berbagai negara memaparkan materi dan bercerita pengalamannya, dua pakar Indonesia menanggapi permasalahan yang diangkat dalam Webinar ini. Pertama adalah Mas Achmad Santosa, Pengajar Senior Hukum Lingkungan FHUI dan Pendiri ICEL. Ia menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan harus diutamakan daripada kepentingan ekonomi semata. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa walaupun pembangunan berkelanjutan sudah diakui dalam konstitusi Indonesia, praktiknya belum menjadi arus utama bahkan cenderung diabaikan. Selain itu, Alin Halimatussadiah, Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI, berpendapat bahwa kualitas lingkungan adalah bagian dari kesejahteraan masyarakat. Investasi tidak harus trade off dengan lingkungan hidup, bahkan seharusnya bersinergi menciptakan pembangunan hijau yang mewujudkan keadilan sosial, pungkasnya.

Materi Webinar bisa diakses di https://bit.ly/Materi-Webinar-ICEL-1