21/11/2019. Indonesian Center For Environmental Law (ICEL) dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) mengadakan temu wicara “Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”. Temu wicara ini membahas mengenai permasalahan penegakan hukum konservasi terkini, proyeksinya ke depan, serta strategi pemerintah serta anggota DPR baru dalam memperbarui kebijakan penegakan hukum konservasi. Acara yang diselenggarakan di Hotel Morrisey ini dihadiri oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, anggota Tenaga Ahli DPR, akademisi, dan Organisasi Masyarakat Sipil.
Urgensi Pembaruan Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung Dr. Sudharmawatiningsih, S.H., M.Hum mengemukakan kesulitan yang umum ditemui dalam menjerat kejahatan konservasi adalah penuntutan menggunakan dakwaan tunggal. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan UU No.5/1990 yang memasukkan berbagai tindak pidana dengan kualifikasi berbeda ke dalam satu pasal, sehingga jika terdapat pelaku yang melakukan lebih dari satu tindakan, pelaku tersebut hanya tetap dapat dijerat dengan satu pasal. Sudharmawatiningsih menambahkan bahwa sering juga ditemui kasus yang motifnya melibatkan kejahatan terorganisasi namun sulit untuk didakwakan karena belum diatur, dan meski pada berapa kasus dijerat dengan Pasal 55 KUHP tentang penyertaan, pada akhirnya jaringan pelaku kejahatan tetap tidak dapat dijerat semua.
Kesulitan dalam mengkonstruksikan pemidanaan juga dialami oleh Jaksa Penuntut Umum, “Kami kesulitan dalam mengkonstruksikan apa yang dimaksud sebagai kelalaian dalam UU No.5/1990, juga bagaimana mengkonstruksikan kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisasi, karena kejahatan terorganisasi ini lebih dari sekedar penyertaan pidana, tetapi UU No.5/1990 tidak memberikan definisi dan ketentuan yang jelas,” ujar Anggota Satgas Sumber Daya Alam–Luar Negeri (SDA-LN) Kejaksaan Agung Heru Prasetyo., S.H saat menyampaikan tanggapan.
Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK, Yazid Nurhuda S.H., M.A. menambahkan strategi lain yang didorong untuk menyiasati keterbatasan UU No.5/1990 adalah pendekatan multidoor, misalnya penggunaan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun karena penjelasan pasal TPPU tidak memasukan Penyidik KLHK sebagai penyidik TPPU, pasal ini belum dapat diaplikasikan dan belum ada Jaksa Penuntut Umum yang menerima berkas kasus konservasi dengan pasal TPPU ini. Selain itu keterbatasan wewenang Polhut dan PPNS konservasi yang diatur dalam UU No.5/1990 juga menjadi kendala tersendiri, sehingga sangat dibutuhkan sinergi antara penyidik PPNS KLHK dengan Polisi untuk mengatasi kendala regulasi tersebut.
Sayangnya, walau terdapat banyak keluhan dari para penegak hukum mengenai operasionalisasi instrumen yang ada dalam UU No.5/1990, pemerintah justru menolak melanjutkan pembahasan perubahan UU No.5/1990 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Disampaikan oleh Tenaga Ahli Komisi IV DPR, Dr. Robin Bahari, M.Si. “Pemerintah telah resmi menyampaikan pada DPR untuk tidak memasukan revisi UU No.5/1990 sebagai prioritas, termasuk tidak dalam longlist”. Atas posisi pemerintah ini, Direktur Eksekutif ICEL sekaligus perwakilan Kelompok Kerja (Pokja) Konservasi Henri Subagiyo menyatakan bahwa beberapa kelemahan UU No.5/1990 memang dapat diatasi dengan sinergitas antar penegak hukum, peraturan pelaksana dan pendayagunaan undang-undang lain terkait (UU TPPU, UU PPLH, UU Kehutanan dan UU ITE). Namun, terdapat beberapa hal yang tetap perlu perbaikan di level undang-undang seperti perbaikan rumusan delik pidana, kewenangan dan teknik penyidikan tertentu, sanksi yang berorientasi pemulihan, serta pertanggungjawaban badan hukum.
Terhadap dinamika yang terjadi dalam perumusan kebijakan konservasi SDAHE ini, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Prof. Dr. Drs. Emil Salim, M.A. yang turut hadir dalam temu wicara mengemukakan urgensi untuk mengidentifikasi kepentingan-kepentingan yang terlibat. “Yang menjadi masalah adalah penyanderaan calon tokoh politik, sehingga hilang kebijakan pembangunan yang mengutamakan sustainability jangka panjang, terdesak oleh kepentingan pengelolaan jangka pendek yang bersifat eksploitatif dan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek penyandera”, pungkas Emil Salim.
Badan Legislasi DPR RI Mendukung Perubahan UU No.5/1990 Masuk Dalam Prolegnas Prioritas
Bertepatan sehari setelah pelaksanaan temu wicara, Kelompok Kerja Kebijakan (Pokja) Konservasi mendapatkan kesempatan untuk melakukan audiensi dengan Badan Legislasi DPR RI (Baleg) dalam Rapat Dengar Pendapat tertanggal 26 November 2019. Rapat Dengar Pendapat dihadiri 25 dari 80 anggota Badan Legislasi, dan sebagai perwakilan Pokja Konservasi, hadir ICEL, Wildlife Conservation Society – Indonesia Program (WCS), serta Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI). Diwakili oleh Deputi Direktur ICEL Raynaldo Sembiring sebagai juru bicara, Pokja Konservasi menyampaikan urgensi perubahan UU No.5/1990 untuk menjawab permasalahan konservasi keanekaragaman hayati, diantaranya tantangan penegakan hukum serta kebutuhan perlindungan atas pengetahuan tradisional dan sumber daya genetik.
Pemaparan pendapat Pokja Konservasi tersebut mendapat respons positif dari anggota Dewan yang hadir. Kebutuhan atas perubahan UU No.5/1990 telah disadari mendesak untuk dilaksanakan, sebagaimana dikatakan oleh I Ketut Karyasa dari Fraksi PDIP-Perjuangan, “Memang kita selama ini agak terlambat, karena telah habis sebagian besar apa yang menjadi keanekaragaman hayati kita. Karena terlambatnya undang-undang, keanekaragaman hayati hampir terancam punah.” Christina Aryani dari Fraksi Golkar kembali mempertanyakan alasan KLHK mengajukan permohonan untuk tidak melanjutkan pembahasan, “kalau sampai mereka tidak bisa mengirimkan DIM (re: Daftar Inventarisasi Masalah) ini bagi saya agak aneh. Jadi apa yang terjadi?”.
Atas kesadaran tersebut Baleg berkomitmen untuk mengajukan pembahasan perubahan UU No. 5/1990 kedalam Prolegnas Prioritas, sebagaimana dikatakan oleh Christina Aryani, “Menjadi tugas kitalah sebagai DPR di Baleg khususnya untuk memasukkan ini kedalam Prolegnas Prioritas. Karena ancaman itu riil. “Dukungan juga disampaikan oleh Taufik Basari dari Fraksi Partai Nasdem, “Fraksi Partai Nasdem mendukung RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas karena ada kebutuhan terkait perkembangan zaman yang harus mampu diakomodir perubahan UU, sekaligus menjawab tantangan global yang makin kompleks antara manusia dengan sesama makhluk lainnya,”.
Atas tanggapan anggota Dewan tersebut, Raynaldo Sembiring menyampaikan bahwa, “Diharapkan agar UU No. 5/1990 dapat menjadi legacy yang baik dari DPR periode ini. Menghadapi tantangan ke depan, perubahan undang-undang ini juga akan menjadi undang-undang yang baik bagi perkembangan revolusi indutri 4.0 bebasis sainstek, yaitu untuk menghasilkan inovasi farmasi, dan bermacam teknologi lainnya, di samping menguatkan perlindungan masyarakat melalui pengaturan akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional dari sumber daya genetik.”
Narahubung
Rika Fajrini
Antonius Aditantyo
Pada acara “Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya”, ICEL dan FKKM juga meluncurkan 6 (enam) serial kertas kebijakan terkait penegakan hukum konservasi, yang diantaranya membahas mengenai bagaimana menjerat kejahatan perdagangan ilegal spesies liar dilindungi sebagai transnational organized crime, penegakan hukum yang berorientasi pemulihan, dan reformulasi pemidanaan konservasi yang menjawab kebutuhan terkini. Kertas kebijakan dapat diakses melalui https://icel.or.id/kertas-kebijakan/