JAKARTA, 10 JUNI 2020 – Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota) menyesalkan kembali ditundanya agenda sidang Putusan Sela gugatan polusi udara yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin. Panitera persidangan yang dipimpin oleh Hakim Saifudin Zuhri menyatakan sidang diundur hingga dua pekan yakni pada 23 Juni 2020 mendatang.

Pegiat seni dan sosial Melanie Subono, yang menjadi salah satu Penggugat, menilai agenda persidangan yang kerap diundur tanpa alasan yang jelas oleh pihak pengadilan menunjukkan bahwa hak sehat warga Indonesia tidak menjadi prioritas.

“Ditundanya lagi dan lagi sidang putusan sela gugatan polusi udara ini bagi Saya jelas menunjukkan bahwa hidup, nafas, dan kesehatan manusia yang ada dalam negara ini memang bukan prioritas. Butuh satu tahun untuk mengemis agar warga bisa bernapas, dan sampai saat ini tetap saja belum didengar,” ujar Melanie, Rabu.

Dalam Rangkuman Perjalanan Gugatan Warga Negara tentang Polusi Udara Jakarta Pada Tahun 2019 yang dibuat oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), tercatat bahwa gugatan ini telah didaftarkan kepada PN Jakarta Pusat pada tanggal 4 Juli 2019.

Kala itu, tujuh pejabat negara dinilai tidak menanggapi dan membahas tuntutan dari 32 warga negara yang telah mengirimkan notifikasi sejak 5 Desember 2018 silam. Dengan penyerahan gugatan pada awal Juli tersebut, maka tujuh pejabat pemerintahan itu resmi menjadi para Tergugat dan Turut Tergugat dalam perkara ini. Secara rinci, ketujuh pejabat yang digugat adalah Presiden Republik Indonesia (TERGUGAT 1), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TERGUGAT 2), Menteri Dalam Negeri (TERGUGAT 3), Menteri Kesehatan (TERGUGAT 4), Gubernur DKI Jakarta (TERGUGAT 5), Gubernur Banten (TURUT TERGUGAT 1) dan Gubernur Jawa Barat (TURUT TERGUGAT 2).

Sepanjang proses persidangan telah dilakukan juga proses mediasi antara tim kuasa hukum 32 warga dengan kuasa hukum masing-masing tergugat. Terhitung, terjadi lima kali pertemuan mediasi di dalam persidangan dan dua kali pertemuan mediasi di luar persidangan, hanya dengan perwakilan dari Tergugat 5 yakni Gubernur DKI Jakarta. Dalam pertemuan kelima mediasi yang digelar pada 12 Desember 2019, hakim mediator menyatakan bahwa para pihak tidak menemukan kesepakatan selama berlangsungnya mediasi dan proses persidangan akan dilanjutkan pada tahap pembacaan gugatan.

Dengan jalannya persidangan yang terbilang semakin berlarut-larut ini, Koalisi Ibukota yang mendampingi Penggugat menilai akses masyarakat terhadap keadilan semakin tidak jelas karena proses peradilan yang memakan waktu sangat lama.

“Akses keadilan merupakan salah satu akses yang penting bagi masyarakat untuk berupaya memenuhi haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kami melihat ditundanya pembacaan putusan sela oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat semakin menyempitkan akses masyarakat terhadap keadilan tersebut. Terlebih lagi melihat proses persidangan perkara gugatan warga negara soal pencemaran udara sudah memakan waktu hampir satu tahun sejak masyarakat mendaftarkan gugatan pada 4 Juli 2019 yang lalu,” ujar peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah.

Tim advokasi Koalisi Ibukota dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Ayu Eza Tiara, mengungkapkan, sebelum agenda hari ini, sidang putusan sela sebenarnya telah dijadwalkan pada tiga pekan lalu. Namun, karena pada tanggal tersebut merupakan satu pekan sebelum Lebaran, maka hakim mengundurkan menjadi Selasa 9 Juni kemarin.

“Kita sudah ditunda tiga minggu. Hakim sesungguhnya hanya butuh waktu dua minggu untuk membuat pertimbangan putusan. Namun kemarin secara tiba-tiba panitera mengabarkan bahwa sidang ditunda dua minggu lagi. Putusan sela hingga lima minggu itu terlalu lama,” ujar Ayu.

Dalam proses gugatan warga negara (citizen law suit) atas hak udara bersih ini, majelis hakim terbilang cukup sering memundurkan agenda persidangan pada hari yang telah dijadwalkan. Tim advokasi Koalisi Ibukota pun meminta kepada Hakim untuk berani tegas terhadap pihak-pihak Tergugat.

“Hakim juga harus tegas kepada pihak-pihak Tergugat yang berupaya menghambat proses hukum ini. Karena beberapa kali mereka juga tidak hadir tanpa alasan yang jelas,” imbuh Ayu.

Tim advokasi pun mengingatkan bahwa Hakim persidangan harus berpegang pada prinsip disiplin dan profesional yang merupakan dua dari sepuluh aturan perilaku yang mengikat para hakim, seperti yang tercantum dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P.KY/IV/2009 yang diterbitkan pada tanggal 8 April 2009.

Merujuk Ringkasan Gugatan yang diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juli 2019, tercantum tiga poin utama alasan gugatan 32 warga negara ini dilayangkan kepada tujuh pejabat pemerintahan.

Pertama, mutu udara Jakarta yang sudah tercemar. Hal ini terlihat dari hasil pemantauan Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) DLH DKI Jakarta di lima titik yang tersebar di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat serta dua SPKU Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat yang menunjukkan bahwa konsentrasi Ozon (O3) dan PM2.5 untuk rata-rata tahunan sudah melampaui BMUAD DKI Jakarta dan BMUA yang direkomendasikan WHO untuk melindungi kesehatan.

Kedua, lemahnya pemantauan kualitas udara Jakarta. Koalisi Ibukota menyatakan bahwa lima Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) otomatis yang ada di area Provinsi DKI Jakarta masih belum memadai untuk memberikan informasi kualitas udara Jakarta. Selain itu, ISPU tergolong tidak efektif karena indeks yang disampaikan dalam ISPU kepada masyarakat adalah hasil pengukuran 24 jam sebelumnya, bukan real time.

Tidak hanya itu, parameter PM2.5 juga tidak dipantau dalam ISPU. Dengan tidak adanya parameter PM 2.5 dalam ISPU, pengambilan keputusan masyarakat didasarkan pada pengetahuan yang salah atau tidak akurat, baik mengenai kualitas udara di tempat tinggalnya maupun dampaknya terhadap kesehatan.

Ketiga, Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUA Nasional) dan BMUA Daerah Jakarta yang berlaku saat ini tidak cukup melindungi kesehatan masyarakat Jakarta dan tidak menggunakan rekomendasi WHO. Perbedaan ketiga BMUA menunjukkan bahwa kualitas udara yang masih di bawah BMUA Nasional maupun BMUAD Jakarta dipastikan menimbulkan dampak kesehatan yang signifikan bagi masyarakat.

Oleh karena itu bersama ini Koalisi Ibukota menuntut:

  1. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memastikan putusan sela diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum minggu depan;
  2. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan bahwa perkara adalah gugatan warga negara (citizen law suit) yang harus diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menjamin bahwa perkara tidak berlarut-larut lagi di persidangan mendatang;
  3. Presiden Republik Indonesia, dkk. segera memperbaiki kualitas udara Jakarta melalui serangkaian kebijakan yang mampu memberikan hak atas udara bersih dan sehat sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang berlaku di seluruh dunia.

-o-

Narahubung:

Ayu Eza Tiara (LBH Jakarta)

Fajri Fadhillah (ICEL)