Pada Kamis, 24 Agustus 2023, diselenggarakan Dialog bertajuk “Mewujudkan Hukum Perubahan Iklim yang Berkeadilan: Pembelajaran dari Gerakan Hukum Lingkungan Indonesia Masa ke Masa” sebagai rangkaian hari ulang tahun ke 30 tahun ICEL. Acara yang diselenggarakan di The Club, Djakarta Theater ini ditujukan untuk merefleksikan pembelajaran dan muatan penting dari gerakan hukum lingkungan dari tahun ke tahun, serta memproyeksikan pembelajaran tersebut untuk merumuskan hukum perubahan iklim yang berkeadilan.

Hadir sebagai narasumber enam Direktur Eksekutif ICEL sejak tahun 1993 hingga saat ini, yakni Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M (1993-2000), Wiwiek Awiati, S.H., M.H. (2000-2003), Indro Sugianto, S.H., M.H. (2003-2006), Rino Subagyo, S.H. (2006-2010), Henri Subagiyo, S.H., M.H. (2010-2020), Raynaldo G. Sembiring, S.H., M.Fil. (2020 – sekarang), dan dimoderatori oleh Margaretha Quina, S.H., LL.M.  Keenam Direktur membahas tantangan dan proyeksi penting isu lingkungan hidup pada masa jabatan masing-masing sebagai refleksi dalam  menghadapi tantangan di era selanjutnya.

Raynaldo membuka diskusi dengan menekankan pada tantangan lingkungan masa kini, yakni krisis iklim. Hakikat dari krisis iklim pada prinsipnya tidak berdiri sendiri. Penyelesaian krisis iklim harus dilakukan dengan perbaikan progresif dan simultan terhadap demokrasi, tata kelola, dan rule of law dengan memanfaatkan infrastruktur pendukung yang ada untuk mencapai keadilan iklim. Henri Subagiyo kemudian menjelaskan mengenai transformasi kelembagaan lingkungan hidup dan kehutanan, serta upaya penguatan institusi lingkungan hidup. Penguatan terhadap hak tiga akses melalui komisi informasi, sertifikasi hakim lingkungan, pemilihan umum, peleburan kementerian lingkungan dan kehutanan menjadi agenda dan momentum penting yang mewarnai masa kepemimpinan Henri.

Rino Subagyo menambahkan polemik tingginya persoalan kasus lingkungan, serta persinggungan antara isu kehutanan dan pencemaran yang memuncak pada era 2006 hingga 2009, utamanya isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan illegal logging. Pada era ini, sejumlah UU penting dilahirkan. Diantaranya, UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Seluruhnya dihasilkan sebagai hasil kolaborasi dan konsolidasi masif dengan masyarakat sipil. Indro Sugianto melanjutkan kilas balik perjuangan advokasi pada era orde baru yang kerap mengedepankan paradigma pertumbuhan ekonomi. Penguatan partisipasi publik dan perlindungan Sumber Daya Alam menjadi panglima advokasi lingkungan pada masa orde baru. Peletakan kolaborasi antara masyarakat sipil, akademisi dan penegak hukum menjadi kunci penting dalam menciptakan gerakan hijau dan mencapai keadilan lingkungan.

Selanjutnya, Wiwiek Awiati menekankan bahwa advokasi capacity from within melalui upaya dukungan terhadap kerja-kerja pemerintah sangatlah signifikan. Pada era ini, One Roof Enforcement System (ORES) dibentuk untuk menjamin kolaborasi antara para penegak hukum. Selain itu, partisipasi ICEL dalam Tim Pembaruan Mahkamah Agung mulai terfondasikan. Terakhir, Mas Achmad Santosa mengakhiri sesi diskusi dengan menggariskan pentingnya kondisi pemungkin (enabling condition) dalam mewujudkan hukum lingkungan yang kuat dewasa ini. Advokasi hukum lingkungan haruslah disebarkan dalam sektor turunan yang dapat mendukung penguatan eksistensi hukum lingkungan. Perubahan paradigma pembangunan beyond anthropocentrism menjadi tonggak penting dalam merespon tantangan masa kini yang masih berorientasi pada keekonomian (heavy economic growth). Untuk itu, pembangunan berkelanjutan yang kuat yang berwawasan keadilan (strong sustainability) perlu menjadi ruh dalam agenda pembangunan berkelanjutan era kini. Diskusi ditutup dengan menekankan pentingnya merawat jaringan dengan melakukan kolaborasi dengan lintas pemangku kepentingan, serta pentingnya memori kolektif dalam mendorong ICEL yang semakin maju untuk lebih kuat lagi.

Narahubung:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) : +62 813-8277-7068