Jakarta, Jumat, 14 Oktober 2022 – Peran penting lembaga peradilan dalam memitigasi perubahan iklim terlihat melalui putusan PTUN Bandung dalam menghentikan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Berbahan Bakar Batu Bara (PLTU) baru. Pasalnya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung (PTUN Bandung) membatalkan Izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A 2 x 660 MW (Obyek Gugatan) yang berlokasi di Kabupaten Cirebon. Majelis Hakim PTUN Bandung memerintahkan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Barat (Tergugat) untuk mencabut Objek Gugatan.

Dalam perkara ini, Majelis Hakim PTUN Bandung sepakat dengan argumen Penggugat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang menyatakan penerbitan Obyek Gugatan bertentangan dengan asas tanggung jawab negara dan asas kehati-hatian dalam hukum lingkungan Indonesia. Alasannya, penerbitan Obyek Gugatan berpotensi memperburuk perubahan iklim dan tidak dilakukan dengan mempertimbangkan perkiraan dampak perubahan iklim dalam Dokumen AMDAL yang mendasari penerbitan Obyek Gugatan.

Berdasarkan pembuktian di Persidangan, diperoleh fakta bahwa operasi PLTU Tanjung Jati A 2 x 660 MW berpotensi membuang emisi karbon dioksida 513 juta metrik ton CO2e untuk masa operasi 30 tahun.  Potensi emisi karbon dioksida yang masif tersebut akan menimbulkan dampak perubahan iklim yang signifikan. Potensi dampak perubahan iklim ini tidak dikaji dan dimuat dalam Dokumen AMDAL. Fakta tersebut tentunya bertentangan dengan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai amanat konstitusi, serta kewajiban negara untuk mencegah kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Majelis Hakim PTUN Bandung juga berpendapat bahwa asas kehati-hatian mewajibkan penerbit Izin Lingkungan untuk memperkirakan dampak perubahan iklim dari pembangunan dan operasi Obyek Gugatan.  Meskipun probabilitas besaran dan lokasi dampak dari perubahan iklim masih diliputi ketidakpastian, Hakim menempatkan asas kehati-hatian dalam kerangka tindakan hukum pencegahan.

Atas putusan tersebut, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengapresiasi pertimbangan Majelis Hakim PTUN Bandung karena telah menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, khususnya dalam mewujudkan keadilan iklim. ICEL juga mengidentifikasi sejumlah nilai penting dari putusan tersebut sesuai kriteria sebagaimana termaktub dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2015.

Pertama, putusan ini mencerminkan arah perkembangan hukum dan mengandung nilai kebaruan seirama dengan tren litigasi perubahan iklim global, karena telah menjadi putusan pertama di Indonesia yang  mendudukkan argumen dan pertimbangan terkait perubahan iklim sebagai alasan penting dalam memutus perkara. Majelis Hakim TUN berhasil melihat dampak perubahan iklim dalam jangka panjang, serta membangun logika keterhubungannya dengan emisi karbon yang dilepaskan oleh PLTU Tanjung Jati A dari hasil elaborasi dan penggunaan alat bukti ilmiah dan keterangan ahli. Dengan demikian, putusan ini memperkecil jurang pemisah antara penegakan hukum dan peradilan dengan isu perubahan iklim dengan berfokus pada kondisi kedaruratan dampak perubahan iklim yang secara aktual dan potensial terjadi di masyarakat.

Kedua, argumentasi yang disusun oleh Majelis Hakim PTUN Bandung dalam pertimbangannya mencerminkan suatu proses penemuan hukum baru (rechtvinding). Majelis Hakim TUN mampu menarik keterkaitan tanggung jawab pencegahan dan penanggulangan perubahan iklim dengan asas tanggung jawab negara dan asas kehati-hatian. Majelis Hakim juga telah menilai bahwa meski tidak terdapat peraturan yang secara eksplisit mengatur mengenai penilaian dampak emisi karbon dalam AMDAL, namun sudah seharusnya pemrakarsa dan Komisi Penilai AMDAL memprakirakan secara cermat semua dampak tersebut secara holistik.

Ketiga, Putusan hakim PTUN Bandung juga menjawab permasalahan dinamika sosial, pembangunan, dan lingkungan hidup. Berangkat dari pertimbangan dampak signifikan yang akan ditimbulkan oleh PLTU Tanjung Jati A terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, Majelis Hakim menyatakan penerbitan Objek Sengketa harus memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang menghendaki terjaminnya kualitas hidup yang baik bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Hal ini menjadi suluh untuk menguatkan kembali pertimbangan lingkungan hidup di tengah gencarnya proyek pembangunan infrastruktur dan PLTU yang tengah dilaksanakan oleh Pemerintah.

Putusan Majelis Hakim PTUN Bandung ini menjadi momen yang tepat untuk menyongsong era baru litigasi perubahan iklim. Dalam era baru ini, putusan Majelis Hakim PTUN Bandung diharapkan dapat menjadi landasan dan pembelajaran baik bagi hakim dan komunitas hukum di Indonesia maupun secara global. Putusan ini diharapkan dapat menjadi pemicu peningkatan kualitas pertimbangan putusan yang memiliki perspektif keadilan iklim yang kuat serta berdasar pada bukti ilmiah yang valid dan relevan. Terakhir, putusan ini juga menjadi penegasan bagi peran pengadilan dalam mewujudkan keadilan iklim.

Siaran Pers dalam Bahasa Inggris “Climate Victory From Indonesia: First CFPP Environmental Permit Cancelled on Climate Grounds

–00–

Contact Person:

Ohiongyi Marino – ohiongyi@icel.or.id ; Antonius Aditantyo Nugroho – tyo@icel.or.id ;

Fajri Fadhillah – fajri@icel.or.id ; Chenny Wongkar – chenny@icel.or.id

Indonesian Center for Environmental Law – info@icel.or.id – (+62 813-8277-7068)